“Ibuku, bila harus memilih mencinta atau
dicinta, engkau memilih yang mana?” pertanyaan ini seingatku bukan hanya
sekali ditanyakan anakku itu. Dia sepertinya tengah dilanda bimbang. Kadang
bila ia tengah bimbang, ia mengetuk pintu pembicaraan kami berdua. Jawaban saya
masih sama seperti jawaban yang saya lontarkan beberapa bulan lalu, saat dulu
ia menanyakan pertanyaan itu pada saya ditemani secangkir kopi lumbung vanilla.
Saya pernah mencinta, pernah dicinta, pun pernah mencinta dan dicinta. Kali
ini, singkirkan dulu “mencinta dan dicinta”, siapapun pasti setuju begitulah
kondisi ideal yang diharapkan setiap manusia. Namun kadang manusia dihadapkan
pada pilihan yang mungkin tak diinginkannya.
“Tapi
mencinta kadang lebih menyakitkan, bu” ungkap anakku. Tentu saja saya
setuju. Mencinta mempunyai risiko untuk terpapar pada hal-hal yang menyakitkan
lebih banyak daripada posisi “dicinta”. Tapi
bukankah hidup adalah tentang pilihan yang kita ambil? Dan jangan lupa
risiko-risiko yang runtut mengikut di belakangnya. Sebenarnya bukan masalah
mencinta atau dicinta yang lebih baik, paling benar. Ini soal kemantapan hatimu
untuk memilih. Setiap orang dengan sejarahnya sendiri mempunyai seribu alasan
untuk memilih mencinta atau dicinta. Sama benarnya.
“ Tapi apa untungnya buat aku, mba? Untuk apa aku harus selalu ada buat
dia? Sedang gampang aja dia lupain aku kalau dia lagi nggak butuh, ” kali
ini seorang sahabat yang tengah dalam dilema yang sama. Tuhan sepertinya banyak sedang memberikan soal-soal yang sama
pada hambaNya.
Sedangkan seorang
sahabat dekat saya lainnya pun tengah menjalani proses penyembuhan. Mencinta
ternyata pada suatu titik menjadi terlalu menyakitkan untuknya. Bila harapnya
tidak linear dengan nyata. Manusia dan belajar menerima nampaknya membuka
banyak laku-laku pembelajaran yang tidak mudah. Dan dia memutuskan untuk “menghilang”.
Memutuskan tali-tali, lalu bersembunyi dan menyembuhkan diri. Mungkin waktu
sedang menawarkan mantra ajaib penyembuh untuknya, semoga. Itu pilihnya, siapa
yang bisa memaksa?
“ Hidupku kini tak berasa. Biarlah saja aku hidup untuk membahagiakan
orang-orang terdekatku. Orang tua, saudara, keponakan-keponakannya, itu cukup”
ujarnya saat dia kadang keluar dari “gua
persembunyian”nya untuk kadang berbicara denganku.
Tak apa, jalani saja.
Bahkan saat terakhir kali dia berkata,
“ Aku belum sanggup menghadapinya”.
Jalani saja, berjalanlah
sampai suatu saat engkau ada dalam satu titik mengerti bahwa kunci mencintai
dan membahagiakan orang lain yakni mencintai dan membahagiakan diri kita
sendiri. Bila kita masih tergantung pada orang lain untuk menjadi subjek sumber
energi yang membahagiakan kita, sedikit berhati-hatilah.
Ada sebuah dialog
singkat yang saya temukan di tulisan Paulo Coelho. (Hehe bosan ya, PC
lagiiii...lah bagaimana, saya kalau baca tulisannya, kok pas aja nemu jawaban).
Seperti sebuah kisah analogi yang begitu jeniusnya dia tuangkan.
Ada setangkai bunga
mawar mengharapkan datangnya kumbang untuk menemaninya. Dia menunggu dan terus menunggu.
Lalu matahari bertanya :
“ Apakah kamu lelah menunggu?”
Lalu si bunga mawar
menjawab :
“iyah”
kata si bunga mawar perlahan.
“ Tapi bila bila aku menutup kelopakku, aku akan layu dan mati”
Anakku, saya
mencintai orang yang saya cintai karena saya mencintai diri saya sendiri.
Kadang apa yang paling menyesakkan dalam perjalanannya bukanlah orang yang kita
cinta tidak membalas, atau bertindak tidak sesuai dengan harap kita. Tapi
menurut saya, yang paling menyesakkan yakni saat kita sendiri mau menjalani ataupun
diperlakukan dalam kondisi yang sebenarnya bukan refleksi bahwa kita mencintai
diri kita sendiri. Tapi sekali lagi, hidup adalah tentang pilihan. Dalam banyak
hal, cinta adalah urusan saya dan diri saya sendiri. Bila saya sudah merasa
selesai dan penuh dengan diri saya, saya akan lebih terfokus untuk membebaskan
diri mencintai orang lain dengan penuh.
Sahabatku, bila kau
tanya apa untungnya untuk selalu ada untuk orang yang kita cinta? entahlah,
saya bodoh tentang matematika, apalagi bila harus menghitung untung rugi. Bagi
saya, saya melakukan itu untuk saya sendiri. Saya mencinta, artinya saya ingin
mengada. Ada, selalu ada. Terkadang, hal itu adalah urusan standar kualitas
cinta yang saya tetapkan. Bila suatu titik tindakan mengada itu menjadi
bumerang yang kadang terlalu sakit, kau tahu bagaimana cara menyembuhkan dirimu
sendiri. Cukup mengada dalam doa. Satu hal yang saya selalu percayai yakni Tuhan
selalu luar biasa.
“Jawaban saya masih sama, mencinta,”
jawab saya pada anakku itu. Bukan berarti jawaban saya tak akan berubah. Dunia
dan hidup begitu cair, karena perubahan adalah kepastian itu sendiri. Sedetik
kemudian, seminggu, setahun, sepuluh tahun ke depan, semuanya bisa
berubah. Mengalirlah, jalanilah,
beranilah. Bukanlah hidup yang sesungguhnya adalah hidup di detik ini?
Salam
cinta untuk anakku, dan sahabat-sahabatku. Cintailah dirimu sendiri, dengan
begitu engkau bisa penuh mencintai orang-orang yang kalian cintai. *lagi sok
waras ;p
6 April 2013. 2.21
am.