Sabtu, 11 Mei 2013

My Path



Miss you, Sahabat!

Sabtu pagi yang sepi, hanya bersama secangkir kopi dan data-data yang harus kuanalisis untuk presentasi lab meeting senin depan. Sesekali menengokimu dari jauh, sambil berharap astralku bisa melihatmu sejenak hari ini, aku rindu. Lalu jari-jariku seperti biasa asyik bergerak menjelajah di laptopku, dan entah mengapa ada rasa ingin mengunjungi blog sahabat lamaku yang sudah lama vacum, tidak ada update lagi tulisan-tulisannya semenjak dua tahun terakhir. Dan menemukan kembali tulisannya, tentangku. Postingannya sudah lama sekali, Selasa, 27 November 2007. Saat-saat terakhir akan meninggalkan Jogya dulu. Aku ingin me-reposting tulisannya di sini :

Saat Sahabat Pergi

Satu persatu sahabat pergi, mungkin karena memang telah tiba masanya, seperti halnya hari ini. Apakah memang mereka pergi? Kepergian hanya perubahan dimensi ruang, karena menurutku, senyatanya mereka tetap ada, hadir dan menempati penggalan ruang hidupku. Seperti hari ini, tidak bisa kubohongi hati kecilku, sedih tapi juga bahagia. Sedih karena secara dimensi ruang kita akan merenggang jarak. Bahagia karena dia akan menapaki episode kehidupan selanjutnya, merajut mimpi yang telah sekian lama dalam pelukan Tuhan. Kebersamaan dengannya memberikan warna baru bagiku, tentang perjuangan meraih mimpi. Biarkan mimpi tak selamanya menjadi mimpi. Belajar tentang bagaimana nrimo…..Belajar tentang berdamai dengan hati, berdamai dengan diri sendiri. Tapi kepergianmu dari dimensi ruangku saat ini menyeruakkan sepi.

Hari ini engkau pergi, sepi menghampiri pelukaan, karena tanpamu, tak ada lagi teriakan-teriakan di tengah malam saat-saat kita menjadi seteru karena jagoan kita bertanding. Milan! Forza Italia! Begitu slalu katamu, yang satu ini jelas-jelas kita berbeda, karena aku bilang Liverpool! England, The Three Lions! Meski di saat-saat akhir kemarin kita sepakat untuk menangis, karena Inggris tersisih dari Euro 2008. Tak ada Inggris di Euro 2008, ibarat makan nasi tanpa lauk! Hambar! Trus siapa yang kudukung nanti? Yang jelas aku tetap tak akan membelot ke Italia (hehehehe….).

Aku tak mau mengatakan ini perpisahan, karena perpisahan selalu menyakitkan, tentu engkau tahu khan? Duh, aku nggak tau mesti nulis apalagi, yang jelas, selamat jalan kawan……Raih mimpi ke negeri Azzuri…..Perugia menantimu…….

Our Togetherness!!..aih kami masih unyu-unyuuu...



Aku lupa entah kapan kali terakhir bertemu dengannya. Jarak, ruang, waktu dan jalur-jalur hidup yang berbeda terkadang menghilangkan kami. Tapi tentu saja aku sejatinya tak pernah lupa, aku masih kadang menengok jalur hidupnya melalui media sosial. Kadang bertukar komentar lalu hilang, mungkin memang kami susah kembali seperlintasan. Tapi jejak jejak masa lalu bersamanya memperkaya hidupku.
Dia, yang dengan berani membelokkan jalur hidupnya, dari seorang sarjana kimia, kemudian tersesat bekerja di sebuah bank, lalu melalui pencarian-pencarian hidup dan akhirnya berani memutuskan mengambil master di bidang psikologi sesuai dengan minatnya. Tidak banyak orang yang seberani itu, tentu saja aku belajar banyak darinya tentang keberanian. 
Dia, sepertinya orang pertama yang mengenalkanku akan betapa nikmatnya “bertukar kepala” atau kini istilahku “orgasme otak”. Dia, salah seorang yang dikirim Tuhan untuk memantik syaraf-syaraf kepalaku untuk berdenyut, mengembang sehingga dunia  nampak semakin luas dan berwarna.
Aku mengenangnya. Saat dulu aku leluasa meminjam koleksi buku-bukunya kala membeli buku dulu menjadi sesuatu yang masih “mahal” untukku. Buku Gede Prama, Andrea Hirata kulahap habis dan kemudian menjadi topik bertukar kelapa yang selalu menarik di antara kami. Dari dia pula, aku terpesona dengan yoga dan belajar autodidak walaupun sedikit.
Kami dulu sama-sama penggila kopi, hingga terakhir kudengar dia telah banyak menguranginya. Aku juga, dan sepertinya alasan kami berbuat itu sama. Mungkin karena hanya orang-orang tertentu yang mampu membuat kami yang keras kepala mau mendengarkan.
Aku merinduinya. Kini ia telah menjadi seorang ibu dari seorang gadis cilik yang cantik, bekerja di kementerian kesehatan dengan berbagai aktivitasnya. Aku menengok hidupmu dari jauh, Mba anik. Semoga suatu saat ada selintasan jalur hidup yang mempertemukan kita kembali. Terimakasih telah berbagi salah satu jalur hidup.
Apakah kita masing-masing pergi dan meninggalkan? tidak. Persis seperti katamu :
Apakah memang mereka pergi? Kepergian hanya perubahan dimensi ruang, karena menurutku, senyatanya mereka tetap ada, hadir dan menempati penggalan ruang hidup


My Path. Your Path. Our Path of life.
21 Hillhead street, Glasgow. 11 May 2013.

Kamis, 09 Mei 2013

Seperti Layang-Layang




Beberapa hari lalu kuset lagi jam tanganku, waktu Glasgow.  Sedangkan jam di handphone dan di komputerku masih kubiarkan dengan waktu Indonesia. Perlahan jam tanganku kuputar enam jam lebih lambat daripada waktu Indonesia.
Kenapa saat di Indonesia, aku hanya mempunyai satu waktu, waktu Indonesia saja. Hanya terkadang mengingat saat ada jadwal skype dengan sang supervisor, namun selebihnya, waktuku hanya tunggal, waktu Indonesia. Aku sepertinya tak butuh dan tak mau tahu waktu-waktu lainnya. Ah, mungkin waktu Aussie terkadang, saat sahabatku yang tengah studi di JCU masih tetap menjalinkan ceritanya.
Dan kenapa aku kini mempunyai dua waktu (lagi)?
Waktu identik dengan kegiatan apa yang tengah dikerjakan manusia yang tengah menjalani waktunya. Pagiku dengan aktivitas beberes, menyiapkan sarapan, membuka laptop dengan secangkir kopi, sekarang ini adalah waktu siangmu. Sedangkan waktu menjelang malamku adalah diniharimu, saat lelap menyeberangi mimpi-mimpimu. Aku mengingat waktumu.
Aku hampir tak pernah lupa menyadari waktu. Kini aku mempunyai dua waktu, walaupun hidup dalam waktu tertentu.
Aku ternyata seperti layang-layang yang tak ingin terlepas dari talinya. Lihatlah layang-layang yang terbang di atas langit sana. Terkadang terlihat sendirian di antara langit biru itu. Lepas, bebas dalam ketinggian. Meliuk-liuk terbang menari bersama angin. Ia nampak tak pernah gentar dengan angin kemanapun akan dibawanya. Orang-orang yang melihat dari bawah melihatnya sebagai layang-layang yang terbang mesra memacari angin. Tapi orang-orang itu jarang bisa melihat siapa yang memegangi tali benang layang-layang itu.
Aku, seperti layang-layang itu.
Terbang jauh dalam ketinggian. Dalam aliran angin yang kadang tak bisa kuduga membawaku kemana.
Aku seperti layang-layang itu, menari bersama ketidakpastian arah angin.
Aku mungkin seperti layang-layang itu, terbang bebas tanpa terlihat terikat, ataupun mengikatkan dirinya.
Tapi aku, layang-layang itu.
Si layang-layang yang terikat pada tali yang seseorang pegang. Dimana aku tahu kemana harus pulang.
Aku, si layang-layang yang mencoba terus tegar saat terpaan angin mengencang karena ada si pemegang tali yang siap memberikan dukungan.
Aku, si layang-layang. Nampak sendirian di langit lepas, karena tak banyak yang melihat siapa yang memegang kendali tali benang.
Dan aku si layang-layang, selalu punya engkau bila aku hendak pulang.
Hingga suatu saat, akan kuajak engkau bersama terbang.
Aku adalah pulangmu, Kamu adalah pulangku.

Glasgow, 9 May 2013

Selasa, 07 Mei 2013

Memasak dan Obrolan tentang Rasa


Dulu saat saya kecil merasa terpaksa bila disuruh-suruh memasak, cuci piring, cuci baju dan segala macam pekerjaan perempuan. Tapi “rasa terpaksa” itu lama-lama menjadi biasa. Biasa itu ternyata berbahaya. Rasa biasa terkadang membuat kita menekan banyak rasa ke kurva standar, sehingga kadang kita mengabaikan rasa-rasa yang kita punya. Saya juga tak pernah menolak dan protes bila ibu saya bereksperimen dengan rambut saya yang panjang dulu saat SD, tapi paling sampai gerbang saya sudah memburakkan rapi jalinya tatanan rambut saya. Saya tidak punya kebiasaan untuk mengungkapkan apa yang saya sukai atau apa yang tidak saya sukai. Anak baik adalah anak yang penurut, itu pikir saya waktu kecil
            “ Ayo mau beli mainan apa, nanti budhe belikan?” begitu ketika diajak jalan-jalan budhe saat kecil pun saya menggeleng. Tidak usah, kata saya. Anak baik tidak boleh minta macam-macam, itu yang ada di kepala saya.
Kenapa saya tak punya cerita harus dipaksa-paksa berangkat sekolah seperti adik saya yang susahnya bukan main bila waktu pagi tiba untuk ke sekolah? Kenapa saya tak punya kisah-kisah mbolos sekolah, tengilnya ulah-ulah anak beranjak remaja? Anak baik harus rajin belajar, begitu doktrin di kepala saya.
Hahaha kalau dipikir saya lucu ya waktu kecil, pun saya tidak tahu siapa yang mendoktrin itu semua berada di otak saya. Orang tua saya bukan tipe orang tua garis “keras” yang harus begini harus begitu. Dulu, saya memang berpikir begitu, sehingga mostly cerita saya terdengar lebih lempeng dibanding anak-anak yang lain.
Tapi sebenarnya sekarang saya menyadari bahwa butuh sebuah proses panjang untuk bisa menemukan seorang saya yang berani memutuskan apa yang saya suka, atau apa yang saya tidak suka. Dalam hidup, manusia akan ada pada titik-titik dia mengetahui hal-hal apa yang ia sukai, akan dihadapkan pada persimpangan, pilihan-pilihan hidup dan banyak hal lainnya. Banyak yang menemukannya di awal, ada yang sedikit terlambat, ada pula yang terbilang sangat terlambat.
Manusia yang jujur akan perasaannya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir akan hal tersebut.
            “Manusia bukan siapa-siapa sebelum ia mewakili perasaannya sendiri” (Fadh Djibran)
Kutipan di atas mungkin tak sepenuhnya tepat kalimatnya, aku lupa bunyi teks aslinya, tapi mungkin kira-kira begitu.
Bukankah sering kita menyembunyikan perasaan kita sendiri, sampai-sampai kadang kita tak lagi peka mendeteksinya. Saya bukan ingin sedang mengatakan agar seseorang harus mengatakan atau mengungkapkan semua rasa yang dirasai masing-masing kita. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita mengerti rasa yang kita rasai. Kita mewakili perasaan kita sendiri. Tidakkah kau pikir betapa seringnya kita memerangi perasaan kita sendiri? Tidakkah kau merasa lelah? 
Bukankah berdiri dan hidup dengan perasaan kita sendiri terasa lebih membebaskan? Lebih hidup?
Rasa itu hal yang sangat pribadi, setidaknya menurut saya. Tidak ada satu orangpun yang mampu mengklaim mengetahui rasaku, dan juga saya tak pernah sanggup memastikan bagaimana rasamu, rasa kalian. Kecuali jika saya mengatakannya pada kalian, atau kalian mengatakannya pada saya. Itupun dengan asumsi bahwa apa yang kalian atau saya katakan adalah rasa yang sebenarnya.
Rasa, tiba-tiba saya sangat tertarik dengan satu kata ini. Rasa ternyata begitu unik dan ajaib. Apakah karena ia juga bisa berubah-ubah?
Seperti di awal tulisan ini saya bilang tidak suka bila harus disuruh-suruh masak. Dulu saya berpikir, pasti karena Ibu tidak suka masak jadi saya sebagai anak perempuan satu-satunya harus bisa masak agar saya saja yang bertugas memasak (ahaha beneraan itu yang dulu terpikir). Karena saya ingin jadi anak baik, jadi saya nurut (polosnyaaa hihi).
Tapi sekarang, saya suka memasak. Bahkan terkadang memasak bagi saya adalah terapi jenuh, terapi stress. Seni memasak dengan menghasilkan rasa yang pas menurut lidah saya, sekarang ini menjadi hal yang menyenangkan.
Lihatlah rasa itu bisa berubah terhadap hal yang sama. Tapi setidaknya saya tahu apa yang saya rasakan. Apa menurut kalian kalimatku itu terdengar aneh? Memang ada ya orang yang tidak tahu perasaannya sendiri? Menurutmu? Ehehe..
Ah, betapa randomnya alir pikiran saya. Lebih baik saya merasai masakan saya hari ini sebelum saya bertambah random.


Seperti Cah Bayam Rindu Tahu
                                                             
Kambing dibumbui sesukanya
Random ya menunya seperti randomnya alur pikiran saya? Ehehe masa berkuah dan berkuah. Itu enggak dimakan dalam waktu yang sama kok. Cah bayam tahu itu berkawan telor ceplok tadi siang. Jadi....Ah, tak usah kau tanya berapa kali saya makan hari ini *langsung kabuuur...

Glasgow, 6 May 2013. 8.30 pm menunggu maghrib..hiyaaa jam segini belum juga gelap.
Semoga  saya dan kalian  semua semakin bisa mewakili perasaan masing-masing.

Senin, 06 Mei 2013

Di Sambut Musim Semi Glasgow



Ini daun2 ijo bukan sengaja berseni fotografi, tapi karena kamera nyungsep pake self timer LOL


Pagi ini, cericit burung di pohon  belakang flatku membangunkanku lebih awal dibanding alarm sholat subuhku. Ah Glasgow kadang-kadang memang lebih “ndeso” dibandingkan Indonesia. Di daerah tempat tinggalku, walau dekat sekali (5 menit dari Kampus Utama) namun sangat nyaman untuk tinggal. Tenang, karena tidak ada kendaraan yang lalu lalang, hanya beberapa orang berjalan kaki lewat. Di belakang flatku ini juga masih sering kutemukan tupai berkejar-kejaran ataupun cericit burung. Aku betah di flat ini walau terus saja berpindah-pindah, karena posisiku yang terkadang pulang ke Indonesia untuk riset.
Dan kini kepulanganku ke Glasgow disambut musim semi yang tahun lalu kulewatkan karena tengah berada di Indonesia. Saat kulangkahkan kaki meninggalkan bandara Glasgow, udara masih terasa brrr..musim semi yang palsu. Begitulah cuaca Glasgow, sepertinya nggak jauh-jauh dari dingin.
            “ Spring comes late,” begitu kata bapak pengemudi taksi yang mengantarkanku ke 21 Hillhead street, flatku.
Kembali lagi, rasanya masih aneh. Walau Glasgow sedari awal menginjakkan kaki di sini sudah terasa familiar. Berangkat ke Glasgow kemarin rasanya seperti “hanya” berangkat ke Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia saja. Persiapan juga seadanya, seperti biasa. Mungkin karena aku terbiasa pergi, walau sejujurnya meninggalkan Jogya terasa berat.
Kembali ke Glasgow berarti pula harus memulai hidup lagi dari awal. Menata lagi kamarku karena selama pulang kamarku disewakan. Kali ini aku kembali ke kamar awalku saat pertama kali ke Glasgow, kamar yang berada di bagian belakang flat, lebih kecil dibanding kamar utama. Tadaaa..kamar kosong, flat juga kosong karena Ari sedang di perpus GCU dan tidak pulang, sedangkan Elli (flatmate cinaku) juga tengah keluar.
Untung Ari meninggalkan ayam ungkep di kulkas dan nasi, sehingga bisa mendiamkan perutku yang keroncongan ehehe.
 Ah Glasgow, masih tetap dengan baunya yang sama. Aku sering mengidentifikasi apapun dengan bau, begitu pula kota tertentu mempunyai khas baunya sendiri. Dan kini kuhirupi lagi udara Glasgow, baunya yang khas itu. Dan mulailah aku menata hidup di sini lagi. Kau takkan pernah mengerti ribetnya nomaden bila belum pernah merasainya. Hidup yang menetap itu kadang sesederhana kamu tau dimana kau letakkan penggunting kuku, dimana gunting, penjepit kertas yang biasanya kau letakkan. Bros, dokumen, alat mandi yang selalu sudah tersusun rapi tempatnya. Tapi aku sering kali bergulat dengan hal-hal kecil seperti itu, karena aku selalu berpindah-pindah. Mungkin memang sudah saatnya harus berlabuh #ups.
            “ Kenapa nggak beli lampu emergency? “ katamu suatu saat ketika aku bilang kosan di Jogya gelap saat mati lampu. Sayang, bila aku harus membawa lampu emergency kemana-mana nanti dimana kuletakkan alat mandiku? Aku biasa pergi-pergi dengan tas punggung hanya berisi laptop, alat mandi dan baju ganti. Selama kepulanganku ke Indonesia beberapa bulan lalu, entah berapa kali aku harus pergi ke berbagai kota.
Dan biarlah kini Glasgow memelukku lagi. menyedikan tempat berlabuh sementara waktu. Maka kamar sudah mulai kutata lagi, walaupun masih berantakan.


Paling enggak kasurnya segera bisa kutata dan siap untuk melabuhkan mimpi #zzzzz

Dan mulai menumpuk stok makanan, bumbu-bumbu. Maka segera aku jalan-jalan sebentar menuju Halal Butcher untuk membeli daging kambing, ayam, bayam, bawang dan cabai (ini yang paling penting ehehe).
Kususuri jalanan yang hampir tiap minggu kulalui. Iyah aku ke Halal butcher kalau nggak hari sabtu ya minggu, karena agak susah untuk pergi belanja bila weekday karena harus di lab. Masih tetap sama, hanya saja bunga-bunga sudah mulai mekar warna warni walaupun belum begitu sempurna. Musim semi yang membangunkannya dari musim dingin yang beku. Kafe-kafe pinggir jalan, orang-orang yang berlalu lalang, masih Glasgowku yang dulu. Orang-orang masih banyak yang mengenakan boots walau musim semi sudah tiba. Sedangkan aku, manusia tropis ini dengan pedenya keluar hanya dengan double sweater dan sandal ahaha.

Yak narsis dulu sebelum berangkat belanjaaaa ehehe ;p 

Kafe-Kafe pinggir jalan


Ada juga yang jual sayur dan buah segar lhoo


Ini nih penampakan Halal Butcher El Baracca

barang belanjaaan...masak-masak lalu makaaaan...= ndut
Sampai ke toko halal, belanjaanku masih tetap hampir sama, si bapak penjualnya pun masih sama. Beruntung rasanya walau di negeri antah berantah begini, masih bisa menikmati daging halal dan bahan-bahan masakan yang masih bisa membuatku masak untuk memuaskan lidah jawaku.
Glasgow, menyambutku dengan ke”hangat”annya yang sederhana, tanpa selebrasi yang rupa-rupa. Ia seperti laut, yang selalu menyediakan dirinya menerima aliran sungai dari manapun.
Glasgow, aku kembali lagi. Siap menikmati hidup dengan semua kelokan dan warna warnimu. Merasai semua anugerahNya. 

Bunga-Bunga Glasgow yang mulai bermekaran


21 Hillhead Street, Glasgow,  May 2013

Sabtu, 04 Mei 2013

Titip Rindu




Biar kutitip rindu pada waktu yang kini beralih alih itu
Pada awan yang berarak di langit, siapa tau dibawakannya pada langit di atas tempatmu itu
Kutitip rindu pada matahari yang kini kadang beralih jadi rembulan,
Tak lagi pasti kini,
Kutitip rindu pada jejak jejak langkahmu yang lebar-lebar
Agar rindu menyebar, dan hatiku tetap sabar
Kutitip rindu pada suara batukmu yang sesekali terdengar
Agar semesta bergetar
Kutitip rindu pada udara yang dihirupimu, agar sanggup memasukimu tepat waktu
Ah, Rinduku yang mungkin terlalu terburu-buru,
Ingin segera sampai padamu.

Dubai. 4 May 13.35 waktu Dubai.
 

Mengeja Rasa di Dubai



Salah satu sudut Dubai Airport

Lalu lalang orang-orang di Dubai airport ini, riuh tapi aku sepi. Aku, tas punggung dan tas selempangku dan kamu di kejauhan. Jauh, kata itu nampaknya ampuh membuat hatiku terkadang  sedikit menciut. Bahwa jarak antara aku dan orang-orang yang aku cintai tidak bisa lagi ditempuh dengan hitungan jam yang sedikit.
            " Tetap semangat selalu ya, Have a safe flight ya, " katamu di detik-detik terakhir waktu boarding pesawat Emirates menuju Dubai tiba tadi malam. Ah, aku ingin detik melambatkan lajunya. Tapi waktu tak acuh melarikan detik demi detiknya.
Semangat selalu, aku tak ingin berpura-pura bersemangat selalu. Semangat mungkin juga seperti perasaan perempuan yang mengarak rasa demi rasa dengan begitu bergelombangnya.
           " Kalau aku ikut sedih lalu siapa yang bertugas menyemangati?" begitu kilahnya saat sekali lagi aku memprotesi grafik rasa jenis lelaki yang selalu nampak konstan. Lempeng, kata seorang teman melabeli grafik mood laki-laki.

Namun sepertinya kita memang akan menemukan kekuatan pada rasa lemah orang-orang yang kita sayang. Menemukan keberanian pada kecemasan orang-orang yang kita cintai. Ada energi yang ingin kita salurkan untuk memberi kekuatan, ketegaran dan keberanian. Mungkin memang begitu hukum alamnya.
Seorang sahabat dekat melepasku dengan matanya yang bertaburan kaca. Aku menguatkan dengan seulas senyum, bukan berarti aku tidak sedih. Tapi tak ingin membebani semesta dengan membalas kesedihan. Lagipula aku ingin merasa ini bukan semacam perpisahan. Sampai jumpa lagi, begitu kuharap.
Pergi memang selalu sanggup mengaduk aduk rasa dengan begitu sempurna. Begitu pula rasaku.
            "Nano-nano rasanya" begitu kataku padanya semenjak kemarin pagi. Apalagi keberangkatanku kali ini dari Jogya. Dan meninggalkan Jogya yang kutinggali selama beberapa bulan ini tentu saja bukan perkara rasa yang mudah. 
Dubai kali inipun menangkap rasa gamangku, bahwa hidup kembali berubah. Ah, aku memang tahu bahwa hidup dan perubahan adalah pasangan kekasih tak terpisahkan. Tapi perubahan yang rasanya terlalu hilir mudik ini menyisakan kegamangan. Kemarin aku masih dalam ritme menikmati pagi Jogya, ke Lab dengan jadwal sesuka hati, kemudian wisata kuliner yang mendukung nafsu makanku yang kian menggila. Kini, di ruang tunggu di samping orang-orang yang tak kukenal. Dan beberapa jam mendatang, aku kembali akan menghirupi udara Glasgow sekaligus rentetan tanggung jawab yang telah menungguku.
Ah nikmatilah, nikmatilah wahai diriku. Bila katalog rasa tersedia untuk kita, bukankah hidup menawarkan untuk menikmatinya?
Aku tak perlu berpura-pura tak sedih, tak usah pura-pura kuat ataupun berusaha menyembunyikan kegamangan. Aku sama seperti rasa manusia lainnya, tapi di atas itu semua, rasaku berkata “semua akan baik-baik saja.
Dubai dengan berderet-deret shopping shop itu tak terlalu lagi menarik perhatianku. Aku di sini mengakrabi rasaku sendiri.




Dubai airport, 4 May 2013. Sambil menunggu jadwal penerbangan berikutnya bersama Si Silver manis itu. Alur pikiranku, kecepatan keyboardnya masih saling mengenali. Semoga segera cepat saling berharmoni :)

PS : Foto2nya minimalis, soalnya diambil dari tempat duduk bersila ahaha dan males jalan2 narsis ;p

Kamis, 25 April 2013

Berjalanlah, Ber-arah-lah, Bertumbuhlah




Hidup bagi manusia bila dimatematiskan mungkin serupa kumpulan dari kejadian yang kita jalani per detik, per menit, per hari, per minggu, per tahun. Momen per detik itu tadi suatu saat akan membentuk jejaring sebentuk kenangan. Jalan di belakang kita adalah serangkaian kenangan, hidup sebenar-benarnya adalah pada detik ini, ada jalan ke depan yang masih dalam angan adalah serupa masa depan.
Mungkin ada manusia yang hendak membuang bagian-bagian dari masa lalunya karena mungkin terasa menyakitkan atau tidak mengenakkan. Tapi bila hidup adalah perjalananmu dengan waktu, dan kenangan adalah perjalananmu yang terdahulu, bukankah ada tangga-tangga yang hilang bila ada bagian yang terbuang? 
Misalnya bila suatu saat kita ada dalam suatu perjalanan, lalu ban mobil kita tiba-tiba gembes, tertusuk paku, atau oleng sedikit tiba-tiba menabrak tiang, atau kita salah arah. Apakah kita akan melupakan itu semua karena hal-hal tersebut seringkali adalah hal-hal yang tidak menyenangkan? 
Bukankah hal-hal tersebutlah yang memperkaya perjalanan? Letihnya akan membuat pencapaian akan titik perjalanan tertentu menjadi terasa lebih berharga? Walau manusia lebih cenderung lebih suka mengingat yang sukaria, kegembiraan dibanding dengan kesedihan, kedukaan, ataupun nestapa. Tapi bila kita mau belajar, bukankah semua rasa itu berasal dari sumber yang sama?. Kesedihan adalah kegembiraan yang belum terungkap wajahnya, karena dengan kesedihan, kita mampu menampung kegembiraan sama dalamnya. Bila di jalan kita tidak menyelesaikan masalah ban yang kempes, perjalanan kita di penghujung kota mungkin akan terasa biasa saja. Kesedihan serta masalah adalah cara-cara hidup untuk mempersiapkan kita untuk merasai kegembiraan dan kemenangan dalam porsi yang sama. Jadi bukankah semua rasa bersumber sama bila kita mau berpikir, mau “Iqro” membacai kehidupan?
Bayangkan bila engkau tiba-tiba masuk ke dalam lorong waktu, melesat kemudian tiba-tiba ditempatkan dalam posisi suatu titik, pada suatu tempat? Tanpa adanya cerita perjalanan di setiap jengkalnya, tanpa ada bekal pembelajaran di setiap tikungannya, Bukankah titik tempat kau berdiri kini menjadi terasa begitu hampanya. Apa bedanya dengan titik yang kau injak sebelum memasuki lorong waktu dengan titik yang kau injak sekarang?
Bila menilik hal tersebut, bukan perjalanan dengan segala cerita, segala masalah dan warna warni rasa itu menjadi penting?
Manusia bukan mahkluk yang seharusnya hidup hanya dengan perulangan-perulangan. Rutinitas-rutinitas harusnya pun mengalami transformasi bukan sekedar menjalani hal yang sama setiap harinya. Manusia dibekali cipta, karsa, rasa untuk menggelindingkan perubahan, untuk mewarnai semesta dengan karya-karyanya, untuk memaknai dengan rasa setiap transformasi perjalanan hidupnya. Bertumbuhlah ! 
Hidup ini terus berjalan, bahkan saat kita ingin menghilang pun, hidup ini tetaplah berjalan. Seberapa lama engkau berjalan mungkin sepadan dengan jumlah angka usiamu, bila hidup dimaknai dengan hitungan detik yang telah dijalani. Tapi seberapa jauhnya? Seberapa bermaknanya? Ukuran-ukuran itu akn menjadi berbeda setiap manusia.
Apalagi bila seseorang tidak pernah menyadari bila hidup adalah perjalanan, mungkin ia memandangnya sebagai perulangan rutinitas, sebagai serangkaian hari dimana ia harus bertahan hidup. Ada yang bilang menjalani hidup mengalir seperti air, namun kadang ia lupa bahwa air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Manusia-manusia yang berjalan tanpa peta, tanpa arah mungkin memang akan sampai ke suatu tempat, namun ia gamang karena tak tahu pasti apa sebenarnya ditujunya.
Manusia berlarian, bekerja, berkejaran dengan waktu, dengan deadline, kemudian lelah, istirahat sejenak lalu berlarian lagi. Ada suatu perulangan terus menerus di sini. Hampir setiap manusia bergelut dengan ritme seperti ini setiap hari. Tapi mengapa engkau bisa menemukan seseorang dengan pertumbuhan diri yang terus melaju dengan segala ritme rutinitas dan keseharian hidupnya? namun kadangkala menjumpai pula orang yang terlihat stagnan ataupun hanya pelan bergerak lajunya.
Manusia yang berjalan ke suatu tempat, tahu apa yang hendak ditujunya, tahu apa yang diinginkannya pasti akan merasa bergerak, melaju setapak demi setapak menuju apa yang ditujunya. Berbeda dengan manusia yang bergerak tanpa tahu apa yang ditujunya, untuk apa ia berjalan, untuk meraih apa, ia akan berjalan tanpa arah dan seringkali memaknai perjalanan adalah rutinitas langkah demi langkah.
Kedua jenis manusia itu bukankah sama-sama berjalan? Maksudnya sama-sama menjalani detik demi detik hidupnya? Tapi bukankah ada jurang perbedaan yang begitu dalamnya.?
Bila engkau hampir sampai di penghujung, dan menengok perjalanan di belakangmu lebih panjang dari pada jalan yang mungkin tersisa di depannya. Lalu tiba-tiba menyadari ada jalan-jalan yang semestinya engkau tempuh tapi tidak engkau tempuh. Ah, semoga kita tidak terjebak dalam suatu penyesalan karena ketidakberanian, karena kepengecutan, karena ketidakpercayadirian, karena bersembunyi di balik alasan-alasan. Bukankah lebih baiknya manusia selagi masih diberikan waktuNya, lebih sering menanyai dirinya sendiri kemana ia ingin  melangkah? Hal-hal apa yang memaknai hidupnya? Dan apa yang membuat diri kita dan hidup terasa bermakna. 
Hidup akan berubah menjadi tumpukan detik-detik yang kaukumpulkan tanpa makna bila engkau gagal memaknai semuanya.
Hiduplah, berjalanlah, melajulah, bertumbuhlah ke arah yang lebih baik dan menunjukkan yang terbaik dari dirimu sendiri.
Hingga hidup, adalah perjalanan ke dalam dirimu. Mari berjalan dan terus berjalan, dalam pertumbuhan yang lebih baik.
Saya, dalam perjalanan ke dalam diri saya sendiri.

Ndalem Pogung, 25 April 2013.