Minggu, 23 Juni 2013

Pulangmu




Aku suka laut. Mungkin itu mengapa dulu aku berkata “ Temani aku ke pantai bila aku sudah bisa berjalan lagi
Karena itu aku makan banyak-banyak, kutelan obat-obatan itu, bahkan sakit luka-lukaku kadang tak terlalu kurasa. Dan aku memaksa berusaha keras untuk belajar berjalan lagi. Hanya beberapa hari saja aku dipapah kemana-mana. Setelah itu, aku belajar berjalan dengan tongkat, walau rasanya sakit setiap kali tongkat itu diayunkan. Tapi aku harus bisa berjalan lagi.
Aku mengingat saat itu. Serasa baru kemarin. Kamu tahu rasanya berada antara batas hidup dan mati? Seperti merasa mendadak hanya ada beberapa orang saja yang tersisa dalam pikirku.
            “ Ayo berjalanlah, agar nanti kau bisa berlari lagi”
Kadang ada orang yang sanggup membuatmu bersinar-sinar ataupun meredup seketika.
Kadang ada orang yang sanggup membuatmu tersenyum berbinar yang tak mungkin dibagi bersama orang lain lagi.
Aku kini sudah bisa berlari lagi, walau bekas-bekas luka itu sepertinya tak pernah bisa hilang dari hidupku. 
            Sakitkah?” tanyamu suatu waktu.
Aku menggelengkan kepala. Kadang ada orang yang mampu menyembuhkan sakit ragamu, entah mantra apa yang diberikan Tuhan padanya.
Aku sekarang masih suka laut.
Laut itu bersahaja dan menerima. Ia menjadi tempat pulang air yang entah darimana arahnya, tak pernah mengeluh, ia menerima. Laut menjadi tempat pulang yang menentramkan. Air yang datang padanya mungkin berteriak “ Eropa sungguh cantik! Kalimantan seksinya misterius! Sukses itu penting! Atau berteriak : kita harus terus bersemangat!
Apapun, bagaimanapun, dari manapun, air itu mengalir pulang ke laut. Laut memelukinya dengan penerimaan. Air selalu merindu laut untuk pulang.
Aku suka laut.
Dan akupun ingin selalu menjadi pulangmu.

Malam yang terlalu larut di Glasgow, pagimu. Dini hariku. 23 June 2013.

 

Sabtu, 22 Juni 2013

Seni Menerima Hidup ala Penderita Ambigu Genetalia


Tak sengaja, mataku tak melepaskan pandangan dari  seorang perempuan yang baru saja keluar dari Fraser Building, gedung untuk internasional student University of Glasgow. Mungkin riasan mukanya yang agak menor itu yang membuatku agaerhatikannya lama. Humm sepertinya bukan hanya itu saja, tapi apa..aku masih belum bisa mengidentifikasinya. Kemudian saat perempuan itu berjalan melewatiku menuju University avenue, baru kusadari suatu hal. Aku memperhatikan tubuhnya dari belakang, ummm memang ada yang aneh. Aku sedikit terperanjat, tubuhnya seperti laki-laki.
            Kamu perhatikan deh, kalau perempuan jalan, walau perempuan tomboy sekalipun tetap saja pinggulnya bergoyang. Maksudnya memang secara natural gitu, enggak dibuat-buat. Atau at least cara jalannya berbeda dengan cara laki-laki bila berjalan,” aku teringat paparan mba anas beberapa waktu lalu.
Hummm mungkin seperti ini contohnya. Aku agak melongo. Badan dan cara jalannya persis laki-laki, payudaranya tak terlalu berkembang dan wajahnya ambigu. Aku pikir tadi dia itu  seorang perempuan karena dia berambut panjang dan memakai make-up yang menor. Ah, mungkin dia itu salah satu contoh kasus ambigu genetalia yang dituturkan mba annas.
Kalian tau apa itu ambigu genetalia? Ehehe pada saat saya mendengarnya pertama kali saya pun mengerutkan dahi, nggak begitu mengerti. 
Ambiguous genitalia is a birth defect where the outer genitals do not have the typical appearance of either a boy or a girl
Cerita penelitian mba annas  tentang penyakit ambigu genetalia di Indonesia sungguh menarik untuk kusimak. Mba annas itu Dosen psikologi Undip yang tengah studi tahun terakhir di Uni of Rotterdam  menginap di flatku selama 3 hari utuk konferensi tentang ambigu genetalia yang diadakan University of Glasgow. Mungkin ini seperti berita-berita di tivi tentang operasi ganti kelamin itu. Terjadi fenomena gunung es, banyak kasusnya namun jarang terekspos media atau jarang pula yang mau mencari pengobatan/konsultasi sehingga angka kasusnya yang sebenarnya sulit untuk diperkirakan.
Pernahkan kalian pikirkan, bahwa bagaimana rasanya kamu mengalami ketidakjelasan jenis kelaminmu? Dan kelainan ini tidak bisa disembuhkan. Upaya satu-satunya hanya untuk meningkatkan kualitas hidup si penderita tersebut. Mba annas di semarang bekerja sebagai konsultan penyakit tersebut dan menghadapi banyak cerita tentang pasien-pasien yang mengalami kelainan tersebut.
            “ Ada yang ngeluh “itunya” kecil banget karena memang tidak berkembang. Ada yang mengalami kesakitan teramat sangat saat berhubungan dengan pasangan, ada yang mengalami depresi karena tidak percaya diri, ada lelaki yang risih dengan payudaranya seperti merasa itu bukan bagian dari tubuhnya” gitu cerita mba annas.
Semenjak dulu, kelainan seperti itu jarang kutemui ataupun kulihat di lingkungan sekitarku. Paling hanya melihat sesekali berita di tivi dan itupun masih have no idea apa yang sebenarnya terjadi. Cerita mba annas banyak membukaan mataku bahwa ada kelainan macam itu.

Banyak kita mengeluh tentang apa saja. Aku sendiri juga. Orang mengeluh tentang kenaikan BBM,  tentang kemacetan. Saya mengeluh tentang riset, tentang writing English saya yang acak adul ahaha. Pun keluhan-keluhan orang yang membanjiri semesta ini. Keluhan yang mampu yang diminimalisir sebenarnya. Masih ada harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa semuanya akan terselesaikan dengan baik. Lihatkan pasien dengan kelainan ambigu genetalia, yang bahkan tidak punya kejelasan tentang apa jenis kelaminnya. Kemudian setelah mengetahui kelainannya itu bahkan tak ada treatment yang bisa menyembuhkannya. Lalu apa? Bagaimana seni belajar menerima adalah pertarungan bagi mereka seumur hidup.
Kita mungkin menerima bahwa saya seorang perempuan, kamu laki-laki sebagai sebuah hal yang take it for granted, sesuatu yang wajar. Nyatanya tidak begitu, itu adalah anugerah. Karena tak terbayangkan bila kita menjadi salah satu penderita kelainan tersebut bukan?
 Ah, sebenarnya ada terlalu banyak hal yang layak untuk kita syukuri daripada membanj
iri hidup dengan keluhan.  Tersenyumlah, Tuhan memberimu lebih dari yang kamu perlu. Cheers

21 Juni 2013. The longest day of the year.16 hours 40 minutes of daylight.
  


Kamis, 20 Juni 2013

Beautiful Scotland!



Yuhuuu  my travelling partners
           
           “ Kayaknya scotland lebih cantik daripada England ya” lontarku pada dua sahabatku. Sambil duduk duduk di antara rerumputan hijau dana makan bekal piknik kami. Iyaaah kami piknik bertiga di pinggiran Glasgow, di Dumbarton Castle.
            “ Emang banyak kali mba yang bilang gitu. Dan emang bener sih” balas Mita sambil mengunyah bakwan bikinanku. 
            “ He-eh sih, tapi tergantung definisi cantiknya. Masing-masing orang mungkin beda. Scotland lebih hijau eksotis, England lebih modern” begitu satu lagi pendapat Jeng tika.
            “ Si media kemaren juga bilang gitu lho, jatuh cinta sama Scotland. Lebih indah katanya.” Lanjutnya. Iyap, Media bersama keluarga dan mba Tri Yumarni dari Manchester beberapa saat lalu menjelajah Scotland, sempat mampir juga ke Glasgow dari aku sempat menemani jalan-jalan di kampus UoG.

Iya sih, tiap orang punya preferensi masing-masing. Dan aku nyatanya jatuh cinta dengan keindahan Scotland. Apalagi bila berkunjung ke tempat asing, tak terlalu terkenal tapi indahnya memukau. Breath taking scenery kubilang!
Scotland, bagiku seperti tempat misterius yang dulu tak pernah terbayang bagaimana rupanya. Tentu saja pengalamanku berbeda dengan saat ke Italia dulu. Aku dulu sudah punya template gambaran seperti apa tanah-tanah yang akan kukunjungi di Itali. Bahkan gambar tempat-tempat yang ingin dan berhasil kukunjungi itu sudah hapal detailnya. Kutempel di dinding kamar, kugambar dengan pensil, dan sudah berkarat di otakku sekian tahun. Kelanaku di Italia adalah seperti mencocokkan apa yang aku bayangkan dengan gambaran nyatanya. Tapi Scotland kali ini menyajikan sensasi baru. Datang ke sini dengan no idea seperti apa rupanya. Kecuali kota Edinburgh yang entah kenapa dari dulu ingin kesana, selebihnya tak ada  gambaran sama sekali. Glasgow adalah tempat out of the blue yang tiba-tiba muncul di peta hidup menjadi tempat yang aku tuju. Butuh beberapa hari “semedi” untuk akhirnya mengatakan “I do” pada Glasgow. Tapi setelah tahun kedua di sini, fall in love with Scotland!!! Ayayyaay ehehe..
Tempatnya tenang, udaranya bersih, nggak ada macet, dan hijaaaauuu. Perpaduan kota-kota tua, bangunan klasik jaman dulu dan modernisitas yang tak terlalu kental. Pas untukku yang tidak terlalu suka kota-kota metropolis. Setelah mengunjungi beberapa kota di England seperti London atau Manchester, dibanding dengan menyelusup mencicipi tempat antah berantah yang jarang dikenal orang seperti Dumbarton Castle ini, entah kenapa hati saya lebih jatuh cinta dengan tempat macam ini.
Kami melakukan piknik sederhana ke Dumbaton castle dan pinggir danau Loch Lomond. Piknik bertiga terakhir sebelum Jeng Tika balik ke Indonesia untuk risetnya. Ehehe kami bertiga itu the gank jalan-jalan, kemana-mana cuma beda template doang, isinya ya kami bertiga. Kadang partner jalan-jalan memang butuh “chemisty”, sama seperti hukum persahabatan ataupun hukum berpasangan. Rasanya nge”klik” aja dan kemanapun dan bagaimanapun kondisinya, selalu saja ramai dan menyenangkan bersama mereka.
Nah, piknik kami sederhana saja. Potluck, begitu istilahnya di sini. Jadi masing-masing kami membawa makanan sendiri-sendiri lalu dimakan bersama-sama. Aku bikin bakwan goreng dan kerupuk, Mita bawa sushi dan mendoan sementara jeng tika bagian jus buah dan buah. Lalu berkelanalah kami ke Dumbarton Castle yang sepi. Hanya sekitar 1 jam dari Glasgow kota lalu kami sampai ke lokasi. Sepi, iyaap karena memang tidak terlalu terkenal, tidak seperti Stirling Castle atau Edinburgh Castle. Kami masuk dengan gratis karena kami member Historic Scotland..asik..asikk.
Dan kami mulai menjelajahi castle yang nampak misterius itu. Jalanannya cukup menanjak dan curam, jadi harus lumayan hati-hati. Tapi pemandangannya aw..awaaw..sebulah kastil di pinggir danau. Siapa yang tak jatuh cinta coba? Aku memang paling betah dengan wisata macam beginian ehehe..



Suasananya tenang, hijaau dan berada di kastil kuno bersama sahabat-sahabat yang menyenangkan itu rasanya..bahagiaaaa..ehehe. Kami piknik, makan-makan dan foto-foto. Dan menjumpai pemandangan yang bikin kami narsis foto-fotoan..

Gadis desa merambah scotlandia ahaha ;p
What a beautiful scotland!

Menghijau dimana-mana


Hihiiii...luv this pic :)

Kastil, danau dan asrinya scotland..
Indah..bikin betah
Selalu pose yang bikin si Mita memotret dengan cemas : awas mbaaa....:D



Scotland, definitely simply beautiful..
Akan kujelajahi lagi pesonamu, Tunggu ! #ngancem


Posting sambil menunggu waktu subuh, Glasgow 20 Juni 2013. 1.45 pm




Selasa, 11 Juni 2013

Sunny Day in UK




Matahari bagi tanah air yang menumbuhkanku adalah biasa. Indonesia dan matahari adalah teman akrab, yang kadang dipuji, kadang dibenci, atau lebih banyak tak dipeduli. Keberadaan matahari bagi sebagian besar orang Indonesia adalah suatu yang biasa, sebuah hal “take it for granted” yang jarang dimaknai, jarang disyukuri. 
Aku, perempuan negeri tropis yang dibesarkan matahari kini mengerti mengapa orang-orang di negara 4 musim ini begitu candu matahari. Karena telah merasai membekunya musim dingin, “semilir dahsyat”nya angin yang sanggup menerbangkanku bila tengah berjalan. Apalagi aku tinggal di Glasgow, bagian UK sebelah utara yang lebih dingin dibandingkan daerah England. Bahkan musim semi ataupun musim panaspun, tetap saja terkadang matahari hanya tempelan di langit, dan segera terusir pergi. Hujan dan Glasgow adalah sahabat karib, karena hujan seringkali datang dan pergi sesuka hatinya tanpa peduli tengah musim apa di Glasgow.
            Day without rain in Glasgow is impossible” kata seorang kasir sebuah minimarket di Glasgow pada customernya. Aku mendengarnya dan tersenyum. Begitulah Glasgow. Tapi bagaimanapun juga aku mencintai kota ini.
Tapi seminggu kemarin, ternyata matahari berbaik hati mau bekerja keras untuk tersenyum sepanjang hari. Bahkan hari jumat kemarin tercatat sebagai The hottest day in UK. Dan cuaca dan mood kadang saling mempengaruhi. Bila matahari mulai bersinar terang, sepertinya semua orang di kota ini ingin keluar dan menikmati sinar matahari yang langka itu menimpa tubuh mereka. Kota mendadak ramai dengan orang-orang yang duduk-duduk minum kopi di cafe. Biasanya seringkali cafe menyediakan tempat duduk di dalam ruangan karena faktor cuaca yang tak memungkinkan. Kini tempat duduknya diletakkan di luar cafe, atau bahkan ada yang sengaja membuat tempat makan yang outdoor agar customernya menikmati sajian makanan sambil “berjemur” matahari.
            Taman-taman kebanjiran orang yang bergembira ria akan senyum cerah matahari. Kadang ada yang duduk-duduk membaca buku, piknik, berkumpul-kumpul atau sekedar berjemur menikmati matahari. Aku kini bisa merasai mengapa mereka begitu menghargai kesempatan nan langka ini, tak sering cuaca bermurah hati pada mereka. Untuk itu harusnya negeri tropis Indonesiaku banyak bersyukur atas limpahan sinar matahari yang hampir sepanjang tahun.
            Namun ajaibnya manusia tropis terobsesi bulir-bulir salju, sedangkan manusia empat musim terobsesi matahari! Ehehe sebuah anomali yang banyak ditemui kan? Nah, kami pun turut merayakan cerahnya matahari dengan mengadakan pengajian plus barbeque-an di Loch Lomond. Biasanya kami, warga Indonesia di Glasgow mengadakan pengajian rutin bulanan. Nah karena cuaca mendukung maka kami mengadakannya di outdoor sambil piknik, sekalian pengajian. Acaranya sederhana, barbeque-an dengan bakar sate ayam, ayam, sosis dan dendeng lalu makan bersama kemudian diteruskan dengan kajian. Aih mulut rasanya tak ingin berhenti mengunyah, atau bertindak multitasking, yakni sambil membolak balik sosis yang dibakar sambil memasukkan ke dalam mulut hasil bakaran yang sudah matang haha.


Kebersamaan dengan warga Indonesia tentu saja selalu menyenangkan bagi kami yang tinggal di luar negeri. Sejenak rehat dari aktivitas harian, tugas-tugas, jadwal lab ataupun report. Bisa berkumpul dan bersendau gurau sekaligus menimba ilmu dari kajian tentu saja hal yang tak ingin aku lewatkan. Kali ini kajiannya tentang persiapan menghadapi Ramadhan yang sebentar lagi datang. Untuk kali keduanya, aku akan melaksanakan ibadah puasa di sini dengan jadwalnya yang aduhai. Saat mengetik tulisan ini, aku tengah menunggu maghrib yang kini datangnya sekitar pukul 10.08 pm, sedangkan subuhnya sekitar jam 2-3 pagi jadi bisa dibayangkan nanti saat puasa jarak magrib dan imsaknya akan sangat pendek. Ah nikmati sajalah, bukankah salah satu pengalaman yang langka menikmati ramadhan di luar negeri seperti ini? 
Hari ini matahari sudah nampak malu-malu lagi, tapi masih berharap matahari akan sering tersenyum di hari-hari mendatang. Biar agak pantas dong dibilang sedang musim panas di Glasgow ahaha. Have a nice sunny day!!

21 Hillhead Street, Glasgow. 09. 30 pm. 10 June 2013

Minggu, 19 Mei 2013

(Hanya) Untukmu



Menjelang beberapa saat berangkat ke Maroko, entahlah aku dilanda semacam perasaan “nano nano”. Mungkin karena akan menjelajah negeri jauh yang belum kutahu bagaimana rupanya, dan bahasanya saja bukan bahasa Inggris hingga sepertinya agak butuh usaha untuk bisa menaklukkan Maroko.
            “ Bisakah ketemu sebentar sebelum aku pergi?” pintaku. Sepertinya selalu begitu bila aku akan pergi beberapa lama. Jauh menjadi kata yang tak asing lagi bagi kami. Bertemu versi kami memang bukan berarti bertatap muka yang tak lagi berhalang monitor. Tapi pertemuan tetaplah pertemuan.
            “ Kalau nemu wifi, akan kutinggalkan pesan” kataku.
Akan kubawa kamu selalu dalam perjalananku, dalam kelanaku ke tanah-tanah asing. Melihat peradaban yang lain, orang-orang yang berbeda, bahasa yang tak lazim, perilaku orang-orang yang tak biasa. Doamu menyisipkan selalu keberanian dan keyakinanku. 
            “ Tak usah susah-susah cari wifi, berceritalah banyak-banyak nanti bila sudah kembali,” begitu katamu.
Akan kubagi cerita nanti, bukan hanya padamu pasti. Karena kaupun ingin aku membagi cerita petualanganku pada orang-orang yang haus petualangan juga, atau setidaknya ingin mendengarkan ceritaku.
Sampai jumpa pada postingku setelah kembali. Mungkin kau akan membuka blogku di antara detik-detik sibukmu dan entah kenapa aku ingin menunjukkan foto-foto ini padamu. Aku tahu pasti kau paling suka aku dengan longdress seperti ini. Bunga-bunga sudah mulai bermekaran di Glasgow, cantik. Aku ingin menunjukkannya padamu dimana tanah yang tengah kujejaki kini.
  


*Maafkan, tulisan nggak jelas ini, mungkin karena rindu yang datang terlalu terburu-buru.
21 HillheadStreet Glasgow, 8.45 pm menunggu jadwal keberangkatan ke Maroko beberapa saat lagi.




Selasa, 14 Mei 2013

Tentang Perempuan



Ah tiba-tiba saya tergelitik menulis tentang perempuan. Mungkin karena akhir-akhir ini saya membacai beberapa tulisan tentang perempuan, ataupun mendengar berita-berita menyoal perempuan. Membaca tulisan yang cukup menghentak milik okke sepatu merah di sini : http://blog.sepatumerah.net/2013/05/tolong-jangan-ajari-ibu-saya/ dan juga membaca status salah seorang  motivator yang entah mengapa menyentil syaraf pikir saya. Saya memang tidak sepenuhnya tidak setuju dengan beliau, hanya terasa ada yang bergejolak dalam diriku.
Mungkin karena tulisan itu memberikan kesan perempuan begitu dependen terhadap laki-laki. Dan hal itu membuat kepala saya yang seharusnya memikirkan tentang data-data presentasi, semalam rasanya ingin mengeluarkan unek-uneknya.
Saya sering sedih melihat perempuan-perempuan yang kurang berdaya. Padahal perempuan mempunyai banyak sekali potensi untuk mengembangkan dirinya. Mereka menjadi dependen terhadap laki-laki, seringkali terutama pada sisi ekonomi. Depedensi inilah yang terkadang menjadikan bargaining position perempuan menjadi lemah. Kasus-kasus KDRT yang kemudian tak pernah terlaporkan, pelecehan atau eksploitasi TKW.
Saya ingat saat di Dubai saat kembali ke Glasgow. Seorang perempuan berumur 40 tahunan menghampiri saya, kebingungan mencari gate, sendirian dan tidak bisa berbahasa inggris. Dia mengaku bekerja di Qatar. Ah, prihatin. Saya antarkan beliau ke gate yang semestinya, dan memastikan ia menunggu di tempat yang benar.
Memang aliran emansipasi wanita telah banyak mengubah pandangan baik perempuan ataupun laki-laki terhadap posisi perempuan. Posisi-posisi pekerjaan yang bagus sudah banyak terbuka untuk perempuan, bahkan sudah masuk ke ranah politik dan posisi-posisi publik. Tapi tetap saja, depedensi perempuan terlihat masih luas menggejala.
Saya feminis? Mungkin. Saya hanya ingin perempuan-perempuan lebih berdaya sehingga ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sebagai perempuan, saya tidak pernah menolak kodrati perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, menyusui, melayani suami, memasak atau istilahnya perempuan itu “kudu pinter masak, macak, manak”. Istilah itupun pasti sering kau dengar. Saya tidak pernah mempersoalkan kodrati perempuan akan hal-hal tersebut. Bagi saya itu refleksi kelembutan perempuan untuk bisa mengurus suami, keluarga dan anak-anak sebagai generasi penerus. Tapi perempuan selayaknya pula diberikan kesempatan untuk mengapreasi dirinya sendiri, memberdayakan dirinya sendiri. Dualitas peran perempuan inilah yang dari dulu saya kagumi. Tidak meninggalkan kodratinya sebagai perempuan, tapi mampu menghidupi hidupnya dengan karya. Entah apapun itu.
Saya hanya sedih melihat perempuan-perempuan yang seringkali tidak berdaya secara ekonomi. Mungkin kalian melihat beberapa wawancara perempuan-perempuan dalam lingkaran tokoh politik yang tengah berperkara dan semarak beritanya akhir-akhir ini.
            “ Ya bagaimana lagi, anak saya dua, selama ini saya tergantung pada suami saya”. Begitu kalau tak salah dengar dari istri seorang yang sedang menjalani perkara tersebut.
Saya hanya ingin perempuan mendapat kesempatan untuk menunjukkan potensinya, mendapat pendidikan, kesempatan dalam pekerjaan, politik, tanpa mengingkari kodratnya sebagai perempuan. Banyak yang mencibir feminis sebagai perempuan yang lupa kodratnya. Perempuan sombong yang mau mengangkangi peran laki-laki. Semua orang punya pandangan sendiri-sendiri, namun saya pikir emansipasi bila ditempatkan pada tempatnya akan melahirkan banyak anak-anak negeri yang hebat.
Saya teringat buku “Ku antar kau ke Gerbang” (Ramadhan KH) yang menceritakan tentang Ibu Inggit ganarsih, istri Soekarno. Sayang saya belum berkesempatan membacanya secara lengkap. Inggit Ganarsih menunjukkan ia dapat menjalani berbagai peran dengan apik sebagai perempuan.

Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja” (hal 99)

Begitu ia dengan lembutnya menjalani kodrati perempuan, tapi ia juga berperan dalam tahun-tahun sulit perpolitikan Soekarno. Sampai-sampai Prof. S.I Poeradisastra dalam kata pengantarnya menuliskan : “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia
Sebagai ibu, kekasih, kawan.  Sesungguhnya perempuan bisa memainkan berbagai peran dalam satu diri.
Entahlah mengapa saya tiba-tiba tertarik menuliskan tentang ini. Saya hanya ingin menyeru agar perempuan berdaya. Perempuan bisa berdaya dimana saja, tidak musti kerja kantoran. Banyak ibu-ibu yang sukses bekerja di rumah, berbisnis, berkarya, mengajar, menulis. Ada banyak potensi yang ada dalam diri perempuan.
Perempuan dengan kelembutannya menjadikan pelukan hangatnya tempat pulang paling menentramkan.
Perempuan dengan keberaniannya mampu menghadapi apa saja, dalam kondisi-kondisi yang sulit sekalipun.
Perempuan dengan ketegarannya menghadapi saat-saat sulit dan nestapa, tapi tetap mengalunkan doa dan semangat untuk orang-orang yang dicintainya.
Perempuan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya. Perempuan dengan karya-karyanya. Dengan berbagai perannya mendampingi lelaki tercintanya, menjadi ibu untuk anak-anaknya. Perempuan tangguh yang menjadi dirinya sendiri. Berdampingan dengan laki-laki untuk saling menghebatkan, bukan mengantungkan diri pada lelaki seperti abdi.
Perempuan Indonesia, Mari berdaya.
Jangan sebut aku perempuan sejati bila hidup berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tak butuh lelaki yang aku cintai (Nyai Ontosoroh-Bumi Manusia-Pramadya Ananta Toer).

Glasgow, 14 Mei 2013. Menjelang malam dengan sapuan dingin yang tak seharusnya datang di musim semi yang hangat. Glasgow dan cuaca memang sering tak bersepakat. 


 


The Valiant



Di sela-sela menyiapkan slide powerpoint untuk presentasi esok, Kemarin saya menelpon rumah. Kebetulan masih ada gratisan 1 jam dari Vodafone, jadi lumayan untuk dimanfaatkan. Biasanya kami kontak menggunakan skype namun perlu adik saya standby untuk bisa mengoperasikannya. Kali ini saya menelpon hanya sekedar ingin mendengar suara dan kabar orang tua saya. Sambungan telpon diangkat, suara ibu saya yang menentramkan terdengar. Lalu kami memulai pembicaraan yang normal, dari menanyakan kabar kesehatan, studi dan keadaan rumah. Kata ibu saya, mereka sedang di teras rumah. Saya menelpon waktu selepas magrib di Indonesia. Lalu saya jadi teringat saya hobi sekali ada di halaman rumah saat malam.
            Bukannya langitnya tetap sama?” begitu komentar bapak saat kali terakhir dilihatnya saya kembali asik sendirian di halaman rumah dan memandang-mandang ke atas langit. Bulan lalu sepertinya. Saya hanya tersenyum. Bapak ataupun ibu saya sudah hapal kebiasaan saya untuk menatapi langit seperti tak pernah merasa bosan. Dan memang tak pernah terasa bosan. Saya masih ingat rasanya berada di sebelah jendela bis zena yang lebar membentang, saat malam sudah menua. Kala melintasi kawasan seperti padang, dan yang terlihat hanyalah bentangan langit malam dengan kerlipan bintang-bintang. Beberapa menit lalu, saya kembali menggerakkan jemari mencari tweet saya kala itu. Ah ini dia, 11 April 2013 dinihari.

Bunyi deru laju bis, kerlip gemintang di luar jendela dan perjalanan ke arah timur. Ah, menuju hatimu. Mungkin           
Beberapa orang meretweet-nya, beberapa juga mereplynya. Saya memang selalu merasa terkoneksi dengan bintang-bintang di atas sana itu. Kerlipnya tak pernah gagal mempesona saya semenjak kecil. Dulu saat saya kecil sudah terpesona oleh rasi orion yang dulu saya kira bentuknya seperti boneka di atas langit. Ada kepalanya, dua tangan dan kaki, dan ia mengikutiku terus kemanapun aku berjalan. Bagi saya itu nampak sangat menakjubkan. Lalu berganti tahun saya sangat maniak pada astronomi, sampai tergerak keinginan untuk mengambil kuliah jurusan astronomi kala itu. Saya sering dengan kertas berisi peta bintang dan kemudian menggunakan senter mencocokkan dengan posisi rasi di atas langit. Menunduk dan menengadah, begitu tanpa lelah. Orang-orang desa yang kebetulan lewat sampai mengira saya mencari barang hilang. Sampai saya SMApun, saya masih terkadang belajar di halaman rumah. Di dekat gardu pagar dekat lampunya yang terang dan ada teras kecil untuk duduk. Belajar bernaungkan jutaan kerlip bintang itu masih membekas dalam kenangan.
            Saya punya nama-nama sendiri untuk beberapa bintang, dan saya juga punya bintang yang saya namai dengan nama saya sendiri. “Mars The Valiant” (Mars si Pemberani) di antara rasi Orion yang gagah itu. Saya suka dengan The valiant, si pemberani. Mungkin ingin berani menjelajah, berpetualang ke tanah-tanah yang jauh, dan terlebih lagi berani menjelajah dan melakukan perjalanan ke dalam diri. Semua itu butuh keberanian bukan? Saya ingin berani mengambil risiko, berani mengakui salah saya, mengakui kekurangan, dan berani terus melaju. Ah, pemberani terkadang adalah merasai takut dan cemas tapi tetap meneruskan untuk tetap melangkah.
            Akhir Minggu depan akan ke Maroko,” kataku pada bapak di ujung telepon.
            “ Maroko? dimana itu?” Bagi orang tua saya yang belum pernah sekalipun naik pesawat, Maroko nampaknya jauh dari imaginasi mereka.
            Afrika, umm Afrika Utara” jelasku. Tentu saja masih tak terbayang. Mungkin yang terbayang oleh bapak saya adalah anak perempuannya akan menginjakkan kaki lagi ke tanah antah berantah yang jauh dari daya khayalinya.
Saya kemudian bercerita bahwa ke sana tak butuh visa, dan menjelaskan dengan siapa saya ke sana agar menghilangkan sedikit kekhawatiran mereka. Namun saya tidak tahu pasti apa yang ada di benak mereka. Selama ini saya kemana-mana, dengan hidup nomaden saya mereka tak pernah terlalu rewel dengan berbagai macam detail.
Telpon kemudian ditutup dengan suara parau milik ibu saya. Beliau tak pernah cerewet mereweli saya harus begini begitu, tidak seperti kamu, yang akan memberikan closing yang sudah ratusan kali kudengar.
            “ Baik-baik ya dek,  jangan lupa maemnya, sholatnya, istirahatnya. Sehat ya, ndut ya...bla blaa..” dan anehnya saya ingin mendengar itu beratus-ratus kali lagi.
Tapi ibu saya, hanya berpesan singkat saja, komunikasi kami memang selama ini tidak terbiasa dengan komunikasi verbal yang madu berbunga-bunga. Namun kali ini suaranya parau, menahan tangis.
Dan kalau sudah begitu saya harus menyetel nada suara yang baik-baik saja, Suara yang meyakinkan orang tua yang berjarak lebih dari 7600 miles dari saya percaya bahwa saya baik-baik saja.  Beberapa waktu saat saya masih di Indonesia, terkadang ibu saya menelpon kemudian diam tanpa bicara. Lalu kemudian hanya sms yang terkirim. Kedua orang tua saya sekarang ini rasanya bertambah mellow saja. Dan untuk itu saya harus memastikan bahwa saya baik-baik saja. Bahagia dengan pilihan yang saya ambil, memang ada beban-beban di pundak, tapi harus ditanggung dan akan kutaruh sejenak, dan kemudian akan saya pikul lagi.
Saya akan tetap menjadi Mars, The Valiant mereka. Si pemberani itu. Semoga.

Menulis terkadang upaya saya merapikan kenangan, dan menangkal lupa. Dan tulisan ini salah satunya.
CVR. Glasgow 14 May 2013.

Minggu, 12 Mei 2013

A Good Question




Mengawali minggu pagi yang tenang, dengan membuka HP berisi recent updates teman-teman di BB dan tanda mention twitter. Kubuka perlahan, dan duniaku yang berada dalam lingkaran kosmik yang tunggal seketika pada detik itu pula terkoneksi dengan banyak orang. Dan beberapa distraksi tentu saja. Manusia modern yang aneh, dan tehnologi yang aneh. Kadang sebenarnya jiwa manusia terasa lebih tenang tanpa alat-alat komunikasi itu. Lebih tenang? Ah ketenangan yang didapat dari bersembunyi di liang bukankah terasa seperti prajurit yang kalah perang? Bukankah peperangan sesungguhnya adalah bagaimana membuat hati dan jiwamu tenang di tengah hiruk pikuk dan distraksi?
Aku hanya bertanya, aku tidak ingin menjawabnya. Apa kau punya jawabannya?

Pagi ini mau tak mau distraksi menghampir, dan aku seperti biasanya menghitung dalam hati “ satu, dua, tiga” belum sampai hitungan ketiga rasanya hatiku berkata “ ok, I’m fine”. Tapi aku tidak tahu itu sebuah ketenangan atau sekedar mati rasa? Semacam kekebalan imunitas rasa akibat tempaan panjang?
Aku tidak tahu, aku hanya bertanya.
Kemudian aku menyapa sahabat dekatku yang tengah studi di Aussie via chat skype, berbicara ringan. Sampai pada pertanyaan,
            Kau tau bagaimana membedakan saat Tuhan berkata “tidak” dengan “belum atau tunggu dulu”?” begitu tanyaku.
            Umm, aku tak tahu,”jawabnya singkat.
Membedakan Tuhan berkata “ya” dan “tidak” mungkin terasa lebih mudah, tapi membedakan antara Tuhan berkata “tidak” dan “belum” sungguh butuh upaya yang jungkir balik. Aku pernah mendengarkan sebuah acara seorang motivator terkenal di negeri ini, dan seseorang menanyakan pertanyaan sama yang kuajukan barusan. Jawaban beliau sepertinya tidak menjawab pertanyaan, hanya diakhiri dengan selorohnya,
            Nah itu dia, yang bikin saya jungkir balik untuk mengetahuinya” begitu kata beliau.
Mungkin mencari jawab dengan terus berjalan dan memperhatikan bahasa-bahasa semesta. Mungkin, sungguh aku tidak tahu.
Manusia memang hanya sedikit tahu. Karena itu Tuhan ada.
Hidup memang penuh ketidakpastian. Karena itu doa menjadi kebutuhan.
Aku terus berjalan dengan pertanyaan-pertanyaan. Seseorang bilang hidup kadang adalah tentang melontarkan sebuah pertanyaan bagus dan bergerak mencari jawabannya. Entahlah, mungkin memang begitu.
Banyak orang yang melabeli pertanyaan-pertanyaan itu tanda “kegalauan”. Sayangnya sekarang ini banyak orang yang memberikan label “galau” sebagai sebuah fase yang negatif. Galau banyak diartikan menjadi sebuah ketidakstabilan, ketidakpastian, ketidaktenangan. Ya, memang ada rasa seperti itu, tapi bukahkah hidup diberi nutrisi oleh ketidakpastian hidup, kebimbangan? Karena itulah manusia bergerak maju, mencairkan kestagnanan.
Galau dan ketidakpastian adalah anak tangga yang menaikkan hidup ke anak tangga pemahaman hidup berikutnya.
Bila seorang manusia tak pernah mempertanyakan hidupnya, mau kau beri nama dan makna apa hidupmu?
Aku hanya sekedar bertanya!
Sungguh.

 
Glasgow, Minggu 12 Mei 2013.