Minggu, 24 Januari 2021
Minggu, 27 Desember 2020
Luncurkan Website Akademis Sebagai Bentuk Kontribusi
Selama ini saya membuat dan menulis di website siwimars.com autodidak saja, dari coba sana sini jadi memang secara tampilan website dan fitur masih sederhana. Karena memang ini website personal, yang isinya gado gado segala macam rasa tulisan bisa muncul di website ini. Di website saya yang resmi yang bertajuk “Inspirator Akademia” itu, insyaAllah akan dikelola dengan lebih serius. Aih Inspirator Akademia itu tadinya semacam tajuk yang berat sekali untuk saya.
“hehe ya biar ada labelnya. Semacam personal branding gitu,” kata si sahabat yang membantu mengkonsep dan mengeksekusi tehnis website-nya. Ya sudah, saya manut saja haha.
Ternyata saya menikmati secara rutin menghidupi website baru saya itu, walaupun kalau nulis artikel baru agak lama, karena lebih pakai mikir dibanding mau ngepost di website ini. Karena di website tersebut, bahasa saya juga berbeda, topiknya juga tentu saja berbeda dengan di siwimars.com. Kalau di sini, saya bisa menulis aja saja, dengan gaya bahasa santai seperti sedang membicangi sahabat, sedangkan di https://siwiwijayanti.my.id/, saya harus menulis dengan gaya yang lebih semi-formal. Tapi saya seneng-seneng saja sih, karena membagikan beberapa informasi tentang studi lanjut di luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Saya yakin ada banyak orang yang lebih kompeten, lebih berpengalam dan lebih-lebih lainnya, namun mungkin “tidak dituliskan”. Nah, maksud saya menghidupi website tersebut tentu mencoba share informasi-informasi yang saya ketahui atau berdasarkan pengalaman saya studi di luar negeri serta mempublikasikan jurnal ilmiah.
Sudah sekitar sebulan sejak diluncurkannya website tersebut, Alhamdulillah responnya cukup baik. Peringkat DA (domain authority) dan PA (Page authority)-nya sudah langsung 5 pada bulan pertama. Yang kata sahabat saya itu oke banget, hehe sebelumnya mana paham saya soal DA-PA begituan lah hehe. Ada pula banyak DM di IG saya yang mengucapkan terimakasih atas informasi-informasi yang saya berikan. Atapun menanyakan hal-hal yang ingin ia ketahui tentang studi lanjut. Dan itu menyelusupkan saya bahagia, bahkan terharu. Ih, saya berguna juga ya! Hahah gitu sih rasanya,
“Ada kebahagiaan-kebahagiaan yang saya dapatkan dari menulis, dan itu tidak bisa ditukar”
Akhirnya saya sampai kembali pada pemahaman itu, bahwa panggilan hidup ada pada menulis. Doakan ya untuk terus konsisten menghidupi website saya tersebut. Silahkan mampir-mampir juga lho!
Kelak website ini juga akan dipermanis kok, biar saya tetap betah menulis di sini dan semoga kalian juga masih betah terkadang mampir ke mari. Karena website ini, tentu saja rasanya seperti rumah saya. Dimana saya saya bisa sharing perasaan, pemahamaan dan pengalaman saya. Terimakasih telah membersamai saya selama ini.
Salam cinta.
Sabtu, 17 Oktober 2020
Menemukan IKIGAI Dalam Diri
Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang, yang tiba-tiba menggugah kesadaran saya kembali. Selama ini seingat saya nggak ada yang tiba-tiba menanyakan hal itu. Bahkan saya pun lupa kapan terakhir kali saya bertanya hal itu pada diri saya sendiri.
Saya lupa, atau sebenarnya melupa.
"Kalau waktu dan energimu habis untuk melakukan yang nggak sesuai dengan apa yang mau kamu tuju atau apa yang kamu inginkan itu. Nanti kamu akan merasa tersesat,” tambahnya.
Rasanya aku makin “dihantam” oleh pernyataannya tadi itu.
Habis menghadapi pertanyaan seperti itu, saya jadi mikir haha. Beberapa tahun belakangan ini, saya lama sekali tidak mempertanyakan lagi apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup, atau istilahnya “the purpose of life” atau “a reason for being”
Pembahasan tentang hal-hal seperti ini mungkin kadang terasa absurb, ataupun dibilang eksklusif, ataupun mungkin saja ada yang bilang “nggak ada guna”nya. Ya sudahlah hidup ya dijalani aja, nggak usah repot-repot mikirin a reason for being-kita. Sehingga ada banyak orang menjalani kehidupan dengan seadanya, dengan tanpa arah yang jelas.
Ada juga orang-orang yang paham bahwa itu sangat penting, tapi dalam pencariannya belum nemu-nemu juga. Nah itu saya! Haha..
Saya tuh kalau ditanya seperti itu masih bingung lho, apa sebenarnya a reason for being saya. Kalian pernah dengar IKIGAI?. Ada buku best seller yang ditulis oleh Hector Garcia dan Francesc Miralles yang berjudul “IKIGAI-The Japanese Secret To a Long and Happy Life” ini memang sangat menarik perhatian saya. Sampai saat ini, saya belum selesai membacanya, karena membaca bab demi bab rasanya perlu dicerna perlahan.
Kata Ikigai merupakan istilah bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan, gairah dan makna kehidupan. Kata tersebut berasal dari iki, yang berarti kehidupan dan gai, yang artinya nilai. Dijelaskan pula bahwa Ikigai-lah yang dinilai dapat memberikan motivasi kuat yang menjalani hidup dengan bergairah dan semangat.
Nah, untuk menemukan ikigai, para ahli merekomendasikan
untuk memberi empat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti :
· Apa yang saya sukai?
· Apa yang bisa saya lakukan
dengan baik?
· Apakah kemampuan saya itu layak mendapat bayaran?
· Apa yang dibutuhkan dunia dari saya?
Dan pertanyaan dari teman diskusi saya tadi itu memantikkan kembali pertanyaan itu dalam diri saya. Dulu saya merasa menemukan kesenangan dan kebahagiaan lebih pada aktivitas menulis. Saya dulu rajin menghidupi blog ini karena passion saya pada menulis. Saya juga banyak berkenalan dengan orang-orang baru melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga sepertinya lebih dikenal karena tulisan-tulisan saya. Tapi selama ini saya memang hanya menganggapnya hanya sebagai hobi semata. Sementara di sisi hidup yang lain, saya lebih banyak berkecimpung di dunia akademik, apalagi setelah saya menyelesaikan jenjang pendidikan S3. Waktu dan energi saya hampir semuanya tercurahkan untuk aktivitas pekerjaan saya sebagai akademisi. Mungkin karena itulah, saya tidak lagi “sempat” mempertanyakan lagi apa sebenarnya yang betul-betul saya maui.
Karena sebenarnya di dunia akademisi ini saya belum nemukan rasa "passion" yang sebenarnya. Saya bukan akademisi yang dengan penuh gairah meneliti pada suatu bidang yang membuat saya betul-betul tertarik. Tapi bukan berarti juga saya merasa menderita pada apa-apa yang tengah saya lakukan dan jalani. Saya cukup menikmati dan merasakan dinamika pekerjaan selama ini, jadi karir juga melaju cukup bagus. Oleh karena itu, ketika saya mendapati diri saya sudah "terlalu jauh" berjalan di dunia akademisi, jadi dalam pikiran saya kemarin-kemarin ya sudah dijalani saja. Rencana saya ke depan juga akhirnya tertuju pada titik yang dianggap pencapaian tertinggi dari seorang akademisi dosen, misal pengen jadi profesor.
Tapi akhir akhir ini saya berpikir : "apa sih arti jadi profesor buat saya?" . Ternyata bagi saya, hal itu tidak lebih dari sebuah gelar, seperti juga gelar-gelar pendidikan yang sudah saya raih.
Sepertinya saya membutuhkan sesuatu yang lebih membuat saya "bergairah', menemukan passion. Menemukan Ikigai-saya sendiri. Sepertinya ada hal lain yang perlu ditemukan. Sepertinya ada sisi lain atau sisi lama yang justru itulah sesungguh-sungguhnya saya. Walaupun itu bukan berarti kemudian mengindahkan dunia akademisi yang telah lama saya jalani. Dunia yang telah memberikan penghidupan bagi saya, dan juga sarana berbagi sedikit ilmu yang telah saya dapatkan pada generasi berikutnya.
“Some people have found their ikigai, while others are still looking, though they carry it within them. Our ikigai is hidden deep inside each of us, and finding it requires a patient search.”
Begitu yang tertulis di buku itu. Bahwa mungkin Ikigai itu bersembunyi ada dalam diri kita, dan menemukannya membutuhkan kesabaran dalam pencarian. Terkadang saya melihat orang-orang pada usia muda telah menemukan Ikigai-nya, namun ada juga yang terus mencari-cari. Mungkin perjalanan pencarian itu juga penting, seperti tagline-blog saya “Sebuah Catatan Perjalanan Ke Dalam Diri”.
Belum menemukan Ikigai, justru membuat saya lebih berkeinginan untuk lebih sering membicangi diri saya sendiri. Mencoba memahami rasa-rasa yang muncul dari aktivitas saya sehari-hari. Tergoda untuk mencobai beberapa hal, untuk kemudian semoga menemukan apa Ikigai saya yang sebenarnya.
Terus berjalan dalam pencarian. Terus menikmati setiap langkah-langkah penemuan.
Menemukan diri sendiri. ***
Purwokerto. 16 Oktober 2020. Tulisan di tengah gerimis yang membasahi sore ini.
Jumat, 09 Oktober 2020
Membincangi Ego Diri
Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.
“Iya sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.
Sampai akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning” itu
Dan keadaan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah, karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik. Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?
Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.
Saya beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.
Sepertinya itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.
“Enggak ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya demikian.
Soalnya bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku terlihat ambisius ya?”
“Kalau aku, mengukur seseorang itu ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu tutur seseorang itu.
Jleb nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.
Tapi memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan kemudian itu membuat saya berpikir.
“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.
Itu persis yang terjadi pada diri saya.
“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah, sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang, demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah wkwk..
Tapi isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.
Kadang-kadang hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik di earphone dan perbincangan perbincangan saya dengan diri sendiri.
Salam
hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.
Sabtu, 01 Agustus 2020
Ketika Kembali Lagi ke Kota yang Kusebut Rumah, Glasgow.
Menjelang sore bus yang saya tumpangi dari Birmingham Coach Station merapat ke Buchanan Bus Station, terminal bus-nya Glasgow. Saya memilih untuk menggunakan bus daripada kereta karena harga tiketnya lebih murah dibanding kereta. Sementara saya tidak lagi memiliki Railcard, kartu langganan tahunan kereta api di UK yang dari keanggotaannya itu kita bisa memperoleh diskon 30% saat menggunakan jasa kereta api. Memang menggunakan moda transportasi bus lebih lama sih, tapi saya nggak keberatan sama sekali. Sekalian piknik juga dong dari Birmingham ke Glasgow menikmati perjalanan di sepanjang jalan.
Sejak back for good ke Indonesia di awal tahun 2016, saya kembali lagi mengunjungi Glasgow Tahun 2017, kemudian ini kunjungan kali kedua untuk menjejakkan kaki lagi di kota tercinta ini. Kota yang masih saja seperti rumah. Langit Glasgow gloomy ketika saya menggeret koper keluar dari Buchanan Bus Station. Mata saya langsung menjelajah mengamati pemandangan yang biasanya terasa familiar ketika saya masih tinggal di Glasgow. Perut saya terasa lapar, karena sejak pagi hanya makan seadanya membeli cheesecake dan sekotak anggur di tempat istirahat pemberhentian bus sepanjang perjalanan dari Birmingham ke Glasgow. Memang kalau pas lagi di UK saya puas-puasin membeli buah dan kudapan dessert yang kalau di Indonesia harganya lumayan, sedangnya kalau di UK terasa murah. Dan entah kenapa buah-buahnya fresh enak bangeeet, atau mungkin karena merasa lebih murah ya belinya haha.
Karena
perut yang terasa lapar, akhirnya saya melipir ke KFC Glasgow di City Centre. Tempat makan penuh kenangan, karena dulu kalau lagi pengen makan di luar ya paling sering KFC di city centre ini menjadi tujuannya. Selain karena salah satu tempat makan di antara sedikit tempat makan Halal di Glasgow, rasanya juga enaaaak terutama hot wings nya aduhai. Lalu saya duduk makan hotwings dan french fries sambil melihat pemandangan dari jendela. Ya ampuun, tiba di Glasgow lagi tentu rasanya menyenangkan. Rasanya seperti pulang, walaupun kali ini sendirian. Teman-teman yang dulu membersamai ketika kuliah di Glasgow juga hampir semua sudah kembali ke Indonesia. Hanya tinggal beberapa sahabat yang masih tinggal di Glasgow karena menikah dengan orang Glasgow, ataupun yang bekerja di Glasgow. Ada pula sahabat dulu kuliah master, yang kembali ke Glasgow karena menempuh studi PhD.
Rencananya sebelum sahabat saya Mbak Isnia, sampai di Glasgow, saya membooking penginapan di The Kelvin Hotel yang dekat dengan lokasi konferensi yang saya hadiri di University of Glasgow. Baru setelah Mbak Isnia datang dari Birmingham, kami akan share penginapa di daerah City Centre. Begitu sampai di Kelvin Hotel, saya dibantu oleh staff hotelnya yang ramah. Sambil membantu proses check in dia ngajar ngobrol, dan begitu antusias ketika saya bilang bahwa dulu saya kuliah di Glasgow dan kembali lagi untuk bernostalgia dan menghadiri seminar. Ramah dan helpfull, itulah kesan awal saat saya tiba di Kelvin Hotel. Letaknya sangat dekat dengan flat saya dulu di 21 Hillhead Street, jadi kawasan sekitar hotel terasa sangat familiar. Dekat pula dengan Botanic Garden yang dulu kalau bosen, tinggal di taman situ saja untuk sekedar jalan-jalan dan nongkrong-nongkrong menikmati pemandangan yang hijau hijau. Pegawai hotel yang ramah itu membantu menggotong koper super berat saya ke tinggal 3, letak kamar single room yang book. Kamarnya sederhana, awalnya rada rada berkesan gimanaaa gitu. Karena bangunannnya memang bangunan arsitektur lama, apalagi dekorasi kamarnya vintage gitu, ada lukisan jadul hahaah. Jarang jarang lho di Glasgow sama berasa serem mistis..tapi setelah agak lama, rasanya itu hilang juga, berganti kantuk yang luar biasa. Usai sholat saya merebahkan diri, sambil menikmati gerimis di luar jendela. Ah kembali lagi ke Glasgow, kota yang seringkali kusebut rumah, saya tidak sabar untuk kembali menengok University of Glasgow esok hari.